Selasa, 24 Juli 2007

Kenapa Kelapa Sawit Menggantikan Hutan Hujan ?

Saat ini banyak yang telah dilakukan dalam rangka pengubahan hutan hujan dengan keanekaragaman hayati milik Asia tersebut menjadi pengolahan kelapa sawit. Organisasi lingkungan hidup telah memperingatkan bahwa dengan memakan makanan yang mengandung minyak kelapa, konsumen Barat secara langsung ikut membantu perusakan habitat orangutan dan ekosistem yang sensitif.

Jadi, mengapa perkebunan kelapa sawit saat ini luasnya mencapai jutaan hektar mencakup Malaysia, Indonesia, dan Thailand? Kenapa kelapa sawit menjadi buah panen nomor satu, mengalahkan kompetitor terdekatnya, pisang yang rendah hati?

Jawabannya ada pada produktivitas panenan yang tidak sejalan. Sederhananya, kelapa sawit adalah bibit minyak yang paling produktif di dunia. Satu hektar kelapa sawit dapat menghasilkan 5.000 kg minyak mentah, atau hampir 6.000 liter minyak mentah menurut data dari JourneytoForever. Sebagai pembanding, kedelai dan jagung - hasil yang kerap digembar-gemborkan sebagai sumber bahan bakan biologis yang unggul - hanya menghasilkan sekitar 446 dan 172 liter per hektar.

Selain biofuel, kelapa sawit juga dipakaikan untuk beribu-ribu kegunaan lain dari bahan-bahan makanan ke pelumas mesin hingga dasar kosmetik. Kelapa sawit telah menjadi produk agrikultur yang sangat penting untuk negara-negara tropis di seluruh dunia, terutama saat harga minyak mentah mencapai 70 USD per barrel. Sebagai contohnya, Indonesia saat ini merupakan negara penghasil minyak kelapa terbesar kedua di dunia, perkebunanan kelapa sawitnya mencakup 5,3 juta hektar di tahun 2004, menurut laporan dari Friends of the Earth-Netherlands.

Perkebunan ini telah menghasilkan 11,4 juta ton kubik minyak kelapa mentah dengan nilai ekspor sebesar 4,43 milyar USD dan mendatangkan (secara resmi) 42,4 juta USD ke dalam kas negara. Karenanya, nilai dari minyak kelapa terus meningkat. Harganya saat ini mencapai lebih dari 400 USD per ton kubik, atau sekitar 54 USD per barrel - cukup kompetitif bila dibandingkan dengan petroleum.


























Walaupun kelapa sawit cukup sukses di Asia, namun sebenarnya ini bukan tanaman asli bagi kawasan tersebut. Kelapa sawit Afrika (Elaeis guineensis) berasal dari kawasan tropis Afrika, tersebar di hutan hujan Sierra Leone hingga Kongo, Republik Demokratis Kongo. Spesiesnya dikenalkan pada Malaysia pada awal abad ke-20 dan pertama kali ditanam untuk tujuan komersial pada tahun 1917.

Saat ini hampir separuh dari lahan yang telah diolah dan ditanami di Malaysia merupakan lahan kelapa sawit, dan negara tersebut telah menjadi produsen dan eksportir kelapa sawit terbesar, walau Indonesia dengan cepat telah menunjukkan dirinya. Kedua negara, Indonesia dan Malaysia, mengekspor produk-produk tersebut dalam jumlah besar ke Cina: ekspor Malaysia sendiri ke negara tersebut diperkirakan akan meningkat lebih dari 20 persen dari 2,9 juta ton kubik di tahun 2005 hingga lebih dari 3,2 juta ton kubik di tahun 2006, merepresentasikan hampir 1 persen dari keseluruhan nilai ekspor Malaysia.

Minyak kelapa berasal dari buah tumbuhan tersebut, yang satu tandannya bisa mempunyai berat sekitar 40-50 kg. Seratus kilogram dari bibit minyak ini bisa menghasilkan sekitar 20 kg minyak. Tandan buah ini biasa dipanen dengan menggunakan tangan, pekerjaan yang sulit di daerah iklim tropis dimana kelapa sawit tumbuh dengan subur. Di Malaysia, kebanyakan dari pekerjaan ini dilakukan oleh tenaga kerja dari luar, kebanyakan dari Indonesia. Walau kelapa sawit dapat hidup lebih lama dari 150 tahun dan tumbuh hingga 80 kaki di alam bebas, kelapa sawit yang ditanam ini biasanya ditebang atau diracun setelah berusia 25 tahun saat tingginya telah mencapai 30 kaki. Bila lebih tinggi dari 30 kaki, maka memanen buahnya akan menimbulkan kesulitan tersendiri.

Minyak kelapa digunakan sebagai salah satu bahan mentah dari produksi biodiesel, bahan bakar yang berasal dari minyak sayur atau lemak hewani. Pada umumnya, biodiesel ini bisa diturunkan tingkatannya dan, saat terbakar, memiliki emisi yang lebih sedikit dibandingkan dengan bahan bakar petroleum tradisional. Biasanya, biofeul ini dicampur dengan bahan bakar petroleum tradisional, walau memungkinkan pula untuk menjalankan mesin diesel hanya dengan menggunakan biodieasel, yang menjadikannya menjanjikan sebagai sumber energi alternatif pengganti bahan bakar fosil.

Para enviromentalis umumnya mendukung biofeuls ini karena rendahnya polusi yang mereka munculkan, sementara yang lain menyetujui ide untuk mengurangi ketergantungan akan minyak di Timur Tengah karena banyak tumbuhan biodiesel dapat ditanam di kawasan lain atau bahkan diproduksi sendiri. Dengan ide ini di dalam pikiran mereka, para pembuat kebijakan dari Asia hingga Eropa telah menunjukkan ketertarikan dan memberikan dorongan untuk mempromosikan dan menggunakan biofuel tersebut.

Jadi, kenapa penanaman kelapa sawit menuai perhatian? Untuk para environmentalis, permasalahan utama dengan minyak kelapa sebagai biodiesel terletak pada bagaimana tanaman tersebut diolah. Dalam beberapa tahun terakhir, banyak area hutan alami yang dibuka di seantero Asia untuk perkebunan kelapa sawit. Perubahan ini telah menurunkan keanekaragaman hayati, meningkatkan kerentanan pada bahaya kebakaran, dan berdampak pada ketergantungan masyarakat sekitar akan produk dan jasa yang telah disediakan oleh ekosistem hutan.

Selain hilangnya ekosistem hutan, produksi minyak kelapa, seperti yang sedang dipraktekkan saat ini, dapat menyebabkan kerusakan yang cukup parah bagi lingkungan hidup. Di tahun 2001, produksi Malaysia sebanyak 7 juta ton minyak kelapa mentah menghasilkan hingga 9,9 juta ton limbah minyak padat, fiber kelapa, dan batok, serta 10 juta ton limbah yang merusak dari minyak kelapa, yaitu campuran polusi dari batok yang hancur, air, dan residu lemak, yang mempunyai dampak negatif pada ekosistem akuatik.

Lebih jauh lagi, penggunaan pestisida, herbisida, dan pupuk berbasis petroleum secara bebas membuat yakin bahwa kebanyakan pengolahan minyak kelapa tak hanya menyebabkan polusi pada tingkat lokal, namun juga berkontribusi pada emisi gas rumah kaca. Melihat Malaysia merupakan salah satu dari produser yang paling efisien, produksi di daerah lain mungkin lebih berpolusi. Perkebunan di Indonesia sangat merusak karenanya setelah 25 tahun masa panen, lahan kelapa sawit kebanyakan ditinggalkan dan menjadi semak belukar. Tanah mungkin akan kehabisan nutrisi, terutama pada lingkungan yang mengandung asam, sehingga beberapa tanaman mungkin tumbuh, menjadikan wilayah tersebut tanpa vegetasi selain rumput-rumput liar yang akan mudah sekali terbakar.

Karena alasan ini, komunitas ilmuwan sangat prihatin dengan munculnya proposal dari pemerintah Indonesia untuk mengubah kawasan terpencil dan hutan hujan dengan keanekaragaman hayati di Borneo menjadi perkebunan kelapa sawit. Usulan kawasan monokultur yang sangat luas ini dapat mengancam musnahnya keanekaragaman hayati legendaris kawasan tersebut - menurut WWF sebanyak 361 spesies hewan telah ditemukan di pulau tersebut dalam satu dekade lalu - sekaligus menelantarkan penduduk lokal, termasuk suku Dayak, penduduk asli hutan yang terkenal akan keahlian berburu dan melacaknya.

Rencana ambisius: Menurut laporan Friend of Earth, di pertengahan 1990an Indonesia telah menyiapkan 9,13 juta hektar untuk ditanami kelapa sawit. Di tahun 2004, hanya sekitar 58 persen dari area ini yang benar-benar ditanami, walau area hutan hujan alami yang luas telah terlanjur dibuka demi produksi kelapa sawit. Contohnya, dalam makalah milik Lesley Potter dari Australian National University, walau hanya 303.000 hektar dari 2 juta hektar lahan di Kalimantan Timur yang disiapkan untuk pengembangan kelapa sawit telah ditanami, namun sekitar 3,1 juta hektar hutan telah dibuka dengan kedok pembangunan perkebunan.

Indonesia telah mengumumkan rencananya untuk melipatgandakan produksi minyak kelapa mentahnya pada tahun 2025, suatu target yang akan membutuhkan 2 kali lipat peningkatan di hasilnya - sesuatu yang sangat mungkin melihat dari keberhasilan negara tetangganya Malaisya - atau justru memperluas daerah yang akan ditanami kelapa sawit. Laporan tersebut menyebutkan bahwa Indonesia sepertinya akan menggunakan kedua pilihan yang ada. Sesuai usulan investasi tahun 2005, yang dibuat oleh Perusahaan Perkebunan Negara PT Perkebunan Nusantara (PTPN), Indonesia akan mengembangkan sekitar 1,8 juta hektar di kawasan perbatasan Indonesia-Malaysia, dimana kebanyakan sisa hutan yang lengkap masih ada.

Cina akan terlibat dalam rencana ini, dengan menginvestasikan 7,5 milyar USD di proyek infrastruktur dan energi, termasuk menyediakan modal untuk perkebunan kelapa sawit. Investor Cina secara langsung akan mengendalikan sekitar 600.000 hektar perkebunan kelapa sawit, sementara 1,2 juta hektar akan dikendalikan oleh perusahaan-perusahaan Indonesia. Berdasarkan eksplorasi dari konsesi sekitar 100.000 hektar, total biaya yang dibuthkan proyek ini diramalkan oleh Friends of the Earth akan mencapai 8,6 milyar USD.

Proyek ini nantinya akan mempekerjakan hingga 400.000 tenaga kerja dan menghasilkan pemasukan tahunan untuk pajak negara sebesar 45 juta USD. Usulan PTPN ini menyarankan agar perkebunan didirikan di tiga taman nasional, Betung Kerihun (800.000 hektar), Kayan Mentarang (1.360.000 hektar), dan Danau Sentarum (132.000 hektar) serta hutan lindung di sekitarnya dan hutan yang berada dalam konsesi penebangan.

Untuk minyak kelapa atau sesuatu hal yang lain? Di atas kertas, melihat luasnya area hutan tropis di kawasan tersebut dan tingginya nilai minyak kelapa, rencana tersebut tampaknya pilihan yang menguntungkan dilihat dari sisi ekonomi. Bagaimanapun juga, analisa lebih lanjut mengenai kecocokan lahan untuk ditanami kelapa sawit membuat para pemerhati lingkungan kembali bertanya mengenai tujuan utama rencana tersebut, mengesankan bahwa ada kepentingan lain.

Survey pada kawasan tersebut yang dilakukan oleh WWF menemukan bahwa sebagian besar lahan tersebut sangat buruk bila digunakan untuk kelapa sawit. Permukaan yang bergunung-gunung dikombinasikan dengan ketinggian dan iklim yang tak sesuai untuk kelapa sawit berarti paling tinggi hanya sekitar 10 persen yang cocok digunakan untuk penanamannya dan ini memberikan kredibilitas bagi kelompok-kelompok environmentalis untuk menunjukkan bahwa seluruh rencana tersebut mungkin saja hanya merupakan kedok untuk penebangan hutan besar-besaran guna mengambil seluruh sumber kayu yang ada di wilayah tersebut.

Greenomics, salah satu organisasi kehutanan non pemerintah, telah menghitung nilai kayu di kawasan perbatasan mencapai 26 milyar USD. Menebang wilayah yang disiapkan untuk perkebunan kelapa sawit bisa mendatangkan pemasukan bersih yang substansial bagi perusahaan penebangan tersebut dan pendapatan dari pajak bagi pemerintah Indonesia. Lebih lanjut lagi, karena proyek kelapa sawit ini membutuhkan konstruksi jalan yang besar, infrastruktur ini justru dapat mengantarkan kayu yang bernilai tinggi - sekalipun sebelumnya tak dapat diakses - ke pasar.

Secara bersamaan, pemerintah juga dapat memperluas program transmigrasi untuk memindahkan penduduk yang telah memadati Jawa, sesuatu yang telah dilakukan secara luas di bagian lain Kalimantan. Terakhir, pemerintah dapat memperlambat berkurangnya pemasukan dari pajak akibat adanya perdagangan kayu ilegal yang semakin berkembang di kawasan perbatasan - diperkirakan oleh Menteri Kehutanan Indonesia beberapa tahun yang lalu sebanyak 230.000 hingga 250.000 meter kubik kayu per bulan.

Melihat rekor sebelumnya dalam pengembangan kelapa sawit dan kesesuaian tanah yang dipertanyakan, kelompok lingkungan hidup menduga bahwa untuk memulai proyek ini, hutan di luar wilayah konsesi akan dibuka, sementara para pemilik tanah tak pernah bermaksud untuk benar-benar menanam pohon. Makalah milik Friends of the Earth mencatat bahwa "banyak ijin perkebunan yang dikeluarkan oleh pemerintah tidak benar-benar dikembangkan menjadi lahan kelapa sawit. Malahan, lahan-lahan ini sepertinya diterlantarkan karena para pemegang ijin tidak mengerjakan lahan tersebut."

Bagi para kelompok lingkungan hidup ini, yang sebenarnya bermasalah dari tren ini adalah itu semua merupakan pemborosan, dan terjadi di beberapa tempat yang memiliki ekosistem keanekaragaman hayati paling banyak di planet. Makalah tersebut menyebutkan sebuah penelitian yang dilakukan oleh Greenomics yang menemukan "60 persen dari seluruh pengubahan fungsi hutan dengan tujuan menanam dan perkebunan kelapa sawit masih terjadi di hutan-hutan yang bagus di tahun 2004-2005."

Sekedar berubah pikiran atau ada maksud tersembunyi? Pada 28 Maret 2006, di Konvensi Keanekaragaman Hayati PBB di Ciritiba, Brazil, pemerintah Indonesia mengumumkan akan mendukung inisiatif dari WWF untuk melindungi "Jantung Borneo". WWF menyimpulkan bahwa dengan pengumuman ini berarti Indonesia akan menggagalkan rencana untuk membuat perkebunan kelapa sawit terbesar di dunia di wilayah perbatasan Kalimantan, membuat para kelompok lingkungan hidup di seluruh dunia bergembira bahwa lokasi keanekaragaman hayati ini tak akan hilang karena pembangunan.

Bagaimanapun juga, rupanya kegembiraan mereka terlalu dini. Laporan dari Friends of the Earth melihat pengumuman Indonesia dari sisi yang berbeda, disebutkan "walaupun begitu, komitmen ini bukan berarti bahwa rencana untuk memperluas perkebunan kelapa sawit di kawasan perbatasan dibatalkan." Dikatakan pula bahwa Presiden Indonesia Yudhoyono "belum memberikan pernyataan resmi pada publik mengenai proyek kelapa sawit di perbatasan dibatalkan . . . [dan bahwa] Presiden masih mendukung keseluruhan program pembangunan di perbatasan."

Lebih lanjut lagi, laporan tersebut menyatakan bahwa pemerintah Indonesia sebelumnya telah setuju pada Cina menjadikan lahan tersebut bisa digunakan untuk pengembangan kelapa sawit dan tak akan mengingkari komitmen tersebut. Laporan ini juga memberikan catatan bahwa pemerintah telah mengumumkan rencana tambahan untuk memperluas area perkebunan ini menjadi 3 juta hektar agar dapat memenuhi peningkatan permintaan biofuel. Akhirnya laporan tersebut memberikan peringatan "komitmen yang dibuat oleh pemerintah pusat mungkin saja diabaikan sama sekali oleh pemerintah tingkat propinsi dan kabupaten." Friends of the Earth menambahkan bahwa Indonesia pada akhirnya mungkin tidak akan membatalkan proyek tersebut.

Pertempuran memperebutkan jantung Borneo. Walau masih belum jelas status perkebunan kelapa sawit di Borneo Tengah, laporan Friends of the Earth memberikan satu set rekomendasi untuk dapat menggunakan hutan hujan di Kalimantan dengan lebih baik secara ekologi maupun ekonomi. Organisasi tersebut menyebutkan bahwa pernyataan dari Presiden Indonesia Yudhoyono diperlukan untuk memperjelas status resmi dari proyek kelapa sawit. Jika pemerintah tidak bermaksud untuk melanjutkan dengan proyek yang diusulkan tersebut, maka pertama-tama pemerintah harus memfokuskan diri pada meningkatnya produktifitas di perkebunan yang telah ada, bukannya membuka lahan baru untuk kelapa sawit.

Ini bisa dilakukan dengan menggunakan bibiat unggul dan menerapkan praktek berkebun yang lebih baik dari seluruh bagian dunia, serta mendorong untuk menanam kembali perkebunan yang telah diterlantarkan. Laporan tersebut juga berpendapat bahwa akan lebih bijaksana jika Indonesia menggunakan sertifikasi argikultur untuk kelapa sawitnya agar meyakinkan bahwa produknya berasal dari perkebunan yang dijalankan dengan baik.

Satu set kriteria telah dibuat di bawah Principles and Criteria of the Roundtable for Sustainable Palm Oil (RSPO). Bagian kunci untuk rencana sertifikasi adalah megajak negara pengguna untuk bergabung. Jika negara-negara ini gagal untuk mendapatkan kelapa sawit dari sumber yang mendukung, maka tak akan ada bantuan bagi para produsen untuk menjalankan perkebunan mereka dengan cara yang lebih baik. Karenanya, menurut laporan tersebut, negara-negara industri harus didorong untuk menerima produk kelapa sawit yang merupakan hasil dari sumber yang telah tersertifikasi.

Di tingkat lokal, Friends of the Earth berpendapat bahwa pemerintah Indonesia sebaiknya berfokus pada membantu masyarakat lokal untuk meningkatkan akses pasar bagi produk hutan non-kayu dan pertanian hutan, sekaligus meminimalkan dampak potensial dari jalan apapun dan proyek infrastruktur yang terkait yang merupakan hasil dari rencana tadi.

Akhirnya, untuk membuktikan betapa menggunakan ijin kelapa sawit dengan salah adalah serius, pemerintah Indonesia butuh untuk memperkuat hukum yang ada. Hingga saat ini, beberapa petugas perkebunantelah didenda atau dipenjarakan karena penggundulan hutan secara ilegal atau menyebabkan kebakaran hutan, dan pemilik tanah hanya memiliki sedikit alasan untuk mengikuti peraturan yang ada.

Di luar rekomendasi ini, situasi saat ini mungkin akan memunculkan kesempatan untuk menukarkan konservasi hutan dengan emisi karbon. Atas usulan inisiatif dari 10 negara berkembang, negara industri akan membayar konservasi hutan hujan yang akan ditukar dengan "kredit karbon" yang akan turut dihitung dalam target emisi mereka di bawah Protokol Kyoto atau perjanjian internasional lainnya.

Mungkin akan ada pula potensi inisiatif pembicaraan pivat dimana konsesi yang belum ditebang dan dikembangkan dapat dibeli oleh pihak swasta dan disiapkan untuk memberikan keuntungan lingkungan hidup jangka panjang.

Terlepas dari jalan yang telah dipilih, Friends of the Earth dan asosiasi kelompok lingkungan hidup telah menegaskan bahwa pemerintah Indonesia seharusnya mempunyai maksud sendiri dan membuat keputusan dengan berdasar pada evaluasi teliti dengan seluruh informasi yang memungkinkan. Karena negara ini masih memiliki hutan tropis yang sangat luas di kawasan Asia, keputusan mengenai hutan adalah kunci dari kelangsungan jangka panjang keanekaragaman kawasan tersebut dan pemeliharaan pelayanan ekologi.

Indonesia Prioritas Wilmar Grup dalam Pengembangan Sawit

Indonesia jadi prioritas Wilmar untuk pengembangan kebun sawit

JAKARTA: Indonesia akan menjadi wilayah prioritas Wil-mar International Limited dalam pengembangan perkebunan sawitnya dengan target pertumbuhan lahan 40.000 hektare per tahun.

Perusahaan agribisnis produsen minyak sawit (crude palm oil/CPO) terbesar di Asia itu menyiapkan kapitalisasi hingga US$12,7 miliar ditambah keuntungan yang dibukukan tahun lalu sekitar US$400 juta untuk melancarkan ekspansinya.

Dirut Wilmar Kuok Khoon Hong menyatakan optimistis menjadikan Wilmar sebagai perusahaan teragresif di Indonesia melalui jejaring bisnisnya di dalam negeri untuk memperluas areal perkebunan.

"Dengan kekuatan grup kami berupa ahli-ahli perkebunan dan tenaga lokal akan membuat ekspansi luas lahan lebih cepat dan efisien di Indonesia. Kami telah menetapkan target perluasan lahan 40.000 ha per tahun untuk penanaman baru," katanya kemarin.

Kuok menuturkan ekspansi ini akan memperkuat posisi Wilmar sebagai perusahaan CPO terintegrasi yang terbesar di kawasan Asia dan Ukraina.

Menanggapi hal itu, Dirjen Perkebunan Departemen Pertanian Ahmad Mangga Barani mengungkapkan pemerintah tidak dapat menghalangi ekspansi perusahaan perkebunan asing, baik dari Singapura maupun Malaysia.

Ikuti aturan

Apalagi, ujarnya, dalam Perpres No.76/2006 tentang Daftar Negatif Investasi (DNI) sektor perkebunan merupakan salah satu bidang usaha yang dibuka untuk asing dengan maksimal kepemilikan saham yang diizinkan hingga 95% dengan syarat tertentu.

"Yang pasti kami sudah membatasinya dengan Permentan No.26/Permentan/ OT.140/ 2/2007 tentang Pedoman Perizinan Usaha Perkebunan. Silakan saja di sini, tetapi harus mengikuti peraturan pemerintah," tegasnya.

Dalam Permentan itu, lanjutnya, perusahaan asing diperbolehkan mengelola lahan perkebunan hingga 100.000 ha tetapi minimal 20% wilayahnya harus dikerjakan secara inti plasma dengan petani setempat.

Di Indonesia, Wilmar kini mengelola 64.700 ha perkebunan sawit yang telah selesai ditanami pada September 2006. Perusahaan ini total menguasai sekitar 210.000 ha yang tersebar di Sumut, Sumbar, Riau, dan Kalbar.

Selain itu, Wilmar juga diketahui mengoperasikan 18 pabrik pengolahan minyak kelapa sawit di Indonesia berkapasitas 5,4 juta ton per tahun yang dikelola oleh sejumlah badan usaha nasional.

Untuk memenuhi kebutuhan bahan baku pabrik pengolahan itu, Wilmar bermitra dengan 14 perusahaan perkebunan milik delapan grup usaha agribisnis nasional, a.l. Astra Agro, Sinar Mas, Grup Salim, Dutapalma, Ashmore, Nusantara, dan Musim Mas.

Secara keseluruhan, Wilmar memiliki 570.000 ha kebun di kawasan Asia, termasuk Malaysia dan Indonesia, dengan 200.000 ha di antaranya telah ditanami.

Oleh Aprika R. Hernanda
Bisnis Indonesia

Kamis, 19 Juli 2007

Generasi Bahan Bakar Transportasi

Pada konferensi dunia Biomassa untuk Energi dan Perubahan Cuaca yang kedua pada tahun 2003 di Roma, Italia, Volkswagen-Exxon Mobile menyebutkan bahwa berdasarkan jenis bahan bakar dan otomotif yang akan mendominasi pasar, dunia akan dihadapkan pada empat generasi bahan bakar transportasi, yakni* :
  1. Generasi Pertama, merupakan generasi bahan bakar minyak (BBM) berbasis petroleum (minyak bumi) yang diperkirakan akan mendominasi pasar hingga tahun 2010.
  2. Generasi Kedua, merupakan generasi BBM mix atau campuran antara BBM terbarukan dan BBM petroleum yang saat ini telah cukup banyak digunakan, dan diperkirakan akan bertahan hingga tahun 2050. Masa ini ditandai dengan komersialisasi biodiesel dan bioethanol.
  3. Generasi Ketiga, merupakan generasi BBM terbarukan (advance synthetic fuel), seperti flash pyrolisis oil (bio oil), Fischer Tropsch (FT) methanol, dan hydro thermal upgrading oil (HTU). Teknologi pembuatannya lebih sulit dan memakan biaya produksi yang tinggi. Produk ini diperkirakan baru akan ekonomis pada kisaran tahun 2050-2100.
  4. Generasi Keempat, merupakan generasi hidrogen. Pada tahun 2010, setelah minyak bumi benar-benar habis, hidrogen diprediksikan akan menjadi andalan, mengingat bahan ini memiliki nilai kalori yang tertinggi (143 MJ/kg) diantara sumber energi lainnya. Nilai kalori satu liter hidrogen setara dengan empat kali nilai kalori lima liter bensin atau empat liter diesel (solar).
*) Farchad H Mahfud, "Bahan Bakar Alternatif Berbasis Biomassa"

Sabtu, 14 Juli 2007

Bioethanol

Bioetanol

Latar Belakang

Seiringdengan menipisnya cadangan energi BBM, jagung menjadi alternatif yang penting sebagai bahan baku pembuatan ethanol (bahan pencampur BBM). Karenanya, kebutuhan terhadap komoditas ini pada masa mendatang diperkirakan mengalami peningkatan yang signifikan.Bioetanol (C2H5OH) adalah cairan biokimia dari proses fermentasi gula dari sumber karbohidrat menggunakan bantuan mikroorganisme

  • Gasohol º campuran bioetanol kering/absolut terdena-turasi dan bensin pada kadar alkohol s/d sekitar 22 %-volume.
  • Istilah bioetanol identik dengan bahan bakar murni. BEX º gasohol berkadar bioetanol X %-volume.

Bahan Baku

  • Nira bergula (sukrosa): nira tebu, nira nipah, nira sorgum manis, nira kelapa, nira aren, nira siwalan, sari-buah mete
  • Bahan berpati: a.l. tepung-tepung sorgum biji (jagung cantel), sagu, singkong/gaplek, ubi jalar, ganyong, garut, umbi dahlia.
  • Bahan berselulosa (Þ lignoselulosa):kayu, jerami, batang pisang, bagas, dll. Sekarang belum ekonomis, teknologi proses yang efektif diperkirakan akan komersial pada dekade ini !

Pemanfaatan Bioetanol

  • Sebagai bahan bakar substitusi BBM pada motor berbahan bakar bensin; digunakan dalam bentuk neat 100% (B100) atau diblending dengan premium (EXX)
  • Gasohol s/d E10 bisa digunakan langsung pada mobil bensin biasa (tanpa mengharuskan mesin dimodifikasi).
Sumber Karbohidrat Hasil Panen Ton/ha/th Perolehan Alkohol
Liter/ton Liter/ha/th
Singkong 25 (236) 180 (155) 4500 (3658)
Tetes 3,6 270 973
Sorgum Bici 6 333,4 2000
Ubi Jalar 62,5* 125 7812
Sagu 6,8$ 608 4133
Tebu 75 67 5025
Nipah 27 93 2500

Sorgum Manis

80** 75 6000
*) Panen 2 ½ kali/th; $ sagu kering; ** panen 2 kali/th. Sumber: Villanueva (1981); kecuali sagu, dari Colmes dan Newcombe (1980); sorgum manis, dari Raveendram; dan Deptan (2006) untuk singkong; tetes dan sorgum biji (tulisan baru)

Teknologi Pengolahan Bioetanol

Teknologi produksi bioethanol berikut ini diasumsikan menggunakan jagung sebagai bahan baku, tetapi tidak menutup kemungkinan digunakannya biomassa yang lain, terutama molase.
Secara umum, produksi bioethanol ini mencakup 3 (tiga) rangkaian proses, yaitu: Persiapan Bahan baku, Fermentasi, dan Pemurnian.

1. Persiapan Bahan Baku

Bahan baku untuk produksi biethanol bisa didapatkan dari berbagai tanaman, baik yang secara langsung menghasilkan gula sederhana semisal Tebu (sugarcane), gandum manis (sweet sorghum) atau yang menghasilkan tepung seperti jagung (corn), singkong (cassava) dan gandum (grain sorghum) disamping bahan lainnya.

Persiapan bahan baku beragam bergantung pada bahan bakunya, tetapi secara umum terbagi menjadi beberapa proses, yaitu:

  • Tebu dan Gandum manis harus digiling untuk mengektrak gula
  • Tepung dan material selulosa harus dihancurkan untuk memecahkan susunan tepungnya agar bisa berinteraksi dengan air secara baik
  • Pemasakan, Tepung dikonversi menjadi gula melalui proses pemecahan menjadi gula kompleks (liquefaction) dan sakarifikasi (Saccharification) dengan penambahan air, enzyme serta panas (enzim hidrolisis). Pemilihan jenis enzim sangat bergantung terhadap supplier untuk menentukan pengontrolan proses pemasakan.

Tahap Liquefaction memerlukan penanganan sebagai berikut:

  • Pencampuran dengan air secara merata hingga menjadi bubur
  • Pengaturan pH agar sesuai dengan kondisi kerja enzim
  • Penambahan enzim (alpha-amilase) dengan perbandingan yang tepat
  • Pemanasan bubur hingga kisaran 80 sd 90 C, dimana tepung-tepung yang bebas akan mengalami gelatinasi (mengental seperti Jelly) seiring dengan kenaikan suhu, sampai suhu optimum enzim bekerja memecahkan struktur tepung secara kimiawi menjadi gula komplek (dextrin). Proses Liquefaction selesai ditandai dengan parameter dimana bubur yang diproses menjadi lebih cair seperti sup.

Tahap sakarifikasi (pemecahan gula kompleks menjadi gula sederhana) melibatkan proses sebagai berikut:

  • Pendinginan bubur sampai suhu optimum enzim sakarifikasi bekerja
  • Pengaturan pH optimum enzim
  • Penambahan enzim (glukoamilase) secara tepat
  • Mempertahankan pH dan temperature pada rentang 50 sd 60 C sampai proses sakarifikasi selesai (dilakukan dengan pengetesan gula sederhana yang dihasilkan)

2. Fermentasi

Pada tahap ini, tepung telah sampai pada titik telah berubah menjadi gula sederhana (glukosa dan sebagian fruktosa) dimana proses selanjutnya melibatkan penambahan enzim yang diletakkan pada ragi (yeast) agar dapat bekerja pada suhu optimum. Proses fermentasi ini akan menghasilkan etanol dan CO2.

Bubur kemudian dialirkan kedalam tangki fermentasi dan didinginkan pada suhu optimum kisaran 27 sd 32 C, dan membutuhkan ketelitian agar tidak terkontaminasi oleh mikroba lainnya. Karena itu keseluruhan rangkaian proses dari liquefaction, sakarifikasi dan fermentasi haruslah dilakukan pada kondisi bebas kontaminan.

Selanjutnya ragi akan menghasilkan ethanol sampai kandungan etanol dalam tangki mencapai 8 sd 12 % (biasa disebut dengan cairan beer), dan selanjutnya ragi tersebut akan menjadi tidak aktif, karena kelebihan etanol akan berakibat racun bagi ragi.

Dan tahap selanjutnya yang dilakukan adalah destilasi, namun sebelum destilasi perlu dilakukan pemisahan padatan-cairan, untuk menghindari terjadinya clogging selama proses distilasi.

3. Pemurnian / Distilasi

Distilasi dilakukan untuk memisahkan etanol dari beer (sebagian besar adalah air dan etanol). Titik didih etanol murni adalah 78 C sedangkan air adalah 100 C (Kondisi standar). Dengan memanaskan larutan pada suhu rentang 78 - 100 C akan mengakibatkan sebagian besar etanol menguap, dan melalui unit kondensasi akan bisa dihasilkan etanol dengan konsentrasi 95 % volume.

Peralatan Proses

Adapun rangkaian peralatan proses adalah sebagai berikut:

  • Peralatan penggilingan
  • Pemasak, termasuk support, pengaduk dan motor, steam line dan insulasi
  • External Heat Exchanger
  • Pemisah padatan - cairan (Solid Liquid Separators)
  • Tangki Penampung Bubur
  • Unit Fermentasi (Fermentor) dengan pengaduk serta motor
  • Unit Distilasi, termasuk pompa, heat exchanger dan alat kontrol
  • Boiler, termasuk system feed water dan softener
  • Tangki Penyimpan sisa, termasuk fitting

Biodiesel

Biodiesel
  • Biodiesel adalah bahan bakar motor diesel yang berupa ester alkil/alkil asam-asam lemak (biasanya ester metil) yang dibuat dari minyak nabati melalui proses trans atau esterifikasi.
  • Istilah biodiesel identik dengan bahan bakar murni. Campuran biodiesel (BXX) adalah biodiesel sebanyak XX`% yang telah dicampur dengan solar sejumlah 1-XX %
Latar Belakang Kebutuhan Biodiesel di Indonesia:
  • Bahan bakar mesin diesel yang berupa ester metil/etil asam-asam lemak.
  • Dibuat dari minyak-lemak nabati dengan proses metanolisis/etanolisis. Produk-ikutan: gliserin.
  • Atau dari asam lemak (bebas) dengan proses esterifi-kasi dgn metanol/etanol. Produk-ikutan : air
  • Kompatibel dengan solar, berdaya lumas lebih baik.
  • Berkadar belerang hampir nihil,umumnya <>
  • BXX = camp. XX %-vol biodiesel dengan (100 – XX) %-vol solar. Contoh: B5, B20, B100.
  • Sudah efektif memperbaiki kualitas emisi kendaraan diesel pada level B2

Biofuel

Biofuel

Biofuel adalah bahan bakar dari sumber hayati (renewable energy).
Biofuel, apabila diartikan untuk pengganti BBM, maka biofuel merupakan salah satu bentuk energi dari biomassa dalam bentuk cair, seperti biodiesel, bioethanol dan biooil.


Latar Belakang
Indonesia sebagai salah satu negara tropis yang memiliki sumberdaya alam yang sangat potensial. Usaha pertanian merupakan usaha yang sangat potensial untuk dikembangkan di Indonesia karena Indonesia memiliki potensi sumber daya lahan, agroklimat dan sumber daya manusia yang memadai. Kondisi iklim tropis dengan curah hujan yang cukup, ketersediaan lahan yang masih luas, serta telah berkembangnya teknologi optimalisasi produksi dapat mendukung kelayakan pengembangan usaha agribisnis.
Terjadinya krisis energi, khususnya bahan bakar minyak (BBM) yang diinduksi oleh meningkatnya harga BBM dunia telah membuat Indonesia perlu mencari sumber-sumber bahan bakar alternatif yang mungkin dikembangkan di Indonesia. Salah satu tanaman yang memiliki potensi sebagai sumber bahan bakar adalah tanaman jarak pagar (Jatropha curcas). Selama ini ini tanaman jarak pagar hanya ditanam sebagai pagar dan tidak diusahakan secara khusus. Secara agronomis, tanaman jarak pagar ini dapat beradaptasi dengan lahan maupun agroklimat di Indonesia bahkan tanaman ini dapat tumbuh dengan baik pada kondisi kering (curah hujan < 500 mm per tahun) maupun pada lahan dengan kesuburan rendah (lahan marjinal dan lahan kritis). Walaupun tanaman jarak tergolong tanaman yang bandel dan mudah tumbuh, tetapi ada permasalahan yang dihadapi dalam agribisnis saat ini yaitu belum adanya varietas atau klon unggul, jumlah ketersediaan benih terbatas, teknik budidaya yang belum memadai dan sistem pemasaran serta harga yang belum ada standar.
Luas lahan kritis di Indonesia lebih dari 20 juta ha, sebagian besar berada di luar kawasan hutan, dengan pemanfaatan yang belum optimal atau bahkan cenderung ditelantarkan. Dengan memperhatikan potensi tanaman jarak yang mudah tumbuh, dapat dikembangkan sebagai sumber bahan penghasil minyak bakar alternatif pada lahan kritis dapat memberikan harapan baru pengembangan agribisnis. Keuntungan yang diperoleh pada budidaya tanaman jarak di lahan kritis antara lain (1) menunjang usaha konservasi lahan, (2) memberikan kesempatan kerja sehingga berimplikasi meingkatkan penghasilan kepada petani dan (3) memberikan solusi pengadaan minyak bakar (biofuel).

Regulasi dan Peraturan yang terkait dengan Biofuel :

  • Peraturan Presiden No. 5 Tahun 2006 tentang Kebijakan Energi Nasional
  • Instruksi Presiden No. 1 Tahun 2006 tentang Penyediaan dan Pemanfaatan Bahan Bakar Nabati (Biofuel) sebagai Bahan Bakar Lain
  • Keputusan Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi Nomor 3674K/24/DJM/2006 tentang Standar dan Mutu (Spesifikasi) Bahan Bakar yang Dipasarkan Dalam Negeri. (Keputusan ini memuat spesifikasi bensin yang memperbolehkan pencampuran bioetanol sampai dengan 10% (v/v))
  • Keputusan Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi Nomor 3675K/24/DJM/2006 tentang Standar dan Mutu (Spesifikasi) Bahan Bakar yang Dipasarkan Dalam Negeri. (Keputusan ini memuat spesifikasi solar yang memperbolehkan pencampuran biodiesel sampai dengan 10% (v/v))
  • Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomo 0048 Tahun 2005 tentang Standar dan Mutu (Spesifikasi) serta Pengawasan Bahan Bakar Minyak, Bahan Bakar Gas, Bahan Bakar Lain, LPG, LNG, dan Hasil Olahan yang Dipasarkan di Dalam Negeri.
Target Energi Mix 2005

Jumat, 13 Juli 2007

Keunggulan Biodiesel

Ada beberapa keunggulan dari biodiesel sebagai bahan bakar alternatif pengganti solar, antara lain sebagai berikut :
  1. Bio-degradable (dapat terurai oleh lingkungan)
  2. Meminimalisir emisi gas rumah kaca
  3. Mengurangi ketergantungan terhadap bahan bakar fossil
  4. Bebas sulfur dan non toxic (tidak beracun)
  5. Mengurangi angka partikulat sampai 50%
  6. Angka setan (cetane number) dan flash point yang tinggi
  7. Mempertinggi efisiensi mesin
  8. Meningkatkan pengapian dan daya tahan mesin
  9. Tidak mengandung benzena atau aromatik lain
  10. Mudah dan aman untuk disimpan dan digunakan

Foto Biodiesel dari berbagai Bahan baku




Dari atas ke bawah : Biodiesel dari jarak pagar, minyak jelantah dan RBDPO

Terlihat bahwa biodiesel yang dihasilkan dari minyak jelantah memiliki tingkat kejernihan yang sama dengan biodiesel yang dihasilkan dari kelapa sawit dan jarak walaupun minyak jelantah merupakan minyak bekas, adapun mengenai warna merupakan pengaruh dari kadar betakaroten dan mineral-mineral yang sangat kecil dan tidak berpengaruh pada kualitas biodiesel.

Kamis, 12 Juli 2007

Rahasia Biodiesel

Sejak awal Rudolf Diesel memang memperkenalkan mesin diesel yang berbahan bakar minyak kacang. Ia mendemonstrasikan mesin tersebut dalam World’s Exhibition di Paris, 1900. Dalam perkembangannya, bahan bakar solar dari turunan minyak bumi lebih banyak digunakan.

Dengan harga yang murah, kinerja, dan subsidi pemerintah, bahan bakar dari minyak bumi menjadi pilihan selama bertahun-tahun. Namun, ketergantungan impor dan kapasitas produksi dalam negeri yang tidak mampu mencukupi kebutuhan menuntut dikembangkannya bahan bakar alternatif yang lebih murah dan tersedia di alam.

Biodiesel telah terlahir kembali dan mulai meluas penggunaannya di berbagai negara. Kesadaran itu pun muncul di Indonesia sejak krisis keuangan dan terus meningkatnya impor bahan bakar. "Kalau Brazil bisa mengganti 20 persen konsumsi bahan bakar minyak dengan biodiesel, mengapa kita tidak," kata Makmuri Nuramin, Manajer Teknik Balai Rekayasa Desain dan Sistem Teknologi BPPT yang mengembangkan teknologi produksi biodiesel berbahan CPO (crude palm oil) dari kelapa sawit.

Secara teknis, biodiesel memiliki kinerja yang lebih baik daripada solar. Solar yang dicampur biodiesel memberikan angka cetane yang lebih tinggi hingga 64. Sebagai perbandingan, solar biasa memberikan angka cetane 48 sedangkan pertamina DEX (diesel environment extra) 53. Semakin tinggi angka cetane semakin aman emisi gas buangnya.

Pemakaian biodiesel juga tidak memerlukan modifikasi mesin, berfungsi sebagai pelumas sekaligus membersihkan injector, serta dapat mengurangi emisi karbon dioksida, partikulat berbahaya, dan sulfur oksida.

Biodiesel atau methyl ester diperoleh dari proses methanolisis minyak/lemak, menggunakan reaksi trans-esterifikasi ataupun esterifikasi dengan katalis basa atau asam dan metanol. Hasil pencucian dan pengeringan menghasilkan biodiesel yang siapa dipakai. Dari 1 kilogram bahan baku bisa menghasilkan sedikitnya 1 liter biodiesel. Sedang distilasi limbahnya menghasilkan gliserol dan metanol yang dapat digunakan kembali. Meski hanya sekitar 10 persen, gliserol menjadi produk sampingan yang juga bernilai ekonomis.

Selain CPO masih ada lebih dari 40 jenis minyak nabati yang potensial sebagai bahan baku biodiesel di Indonesia, misalnya minyak jarak pagar, minyak kelapa, minyak kedelai, dan minyak kapok. Meskipun tidak menghasilkan minyak sebesar kelapa sawit, pengembangan biodiesel dapat menyesuaikan potensi alam setempat.

Di samping sumber bahan bakunya melimpah dan terbarukan, biaya produksi lebih murah. Rata-rata biaya produksinya antara Rp 600 hingga Rp1.000 per liter. Sebagai pionir biodiesel di Indonesia, BPPT telah mengembangkan teknik produksi biodiesel termasuk rancang bangun pabriknya. Upaya tersebut telah menghasilkan empat buah paten dan pabrik pengolahan berskala kecil 1,5 ton biodiesel per hari di Puspiptek Serpong dan skala menegah 8 ton per hari di Riau.

Meskipun baru tahap proyek percontohan, seluruh produksinya diserap pasar, khususnya untuk perusahaan yang dituntut menurunkan kadar emisi bahan bakar. Saat ini sudah ada sekitar sepuluh perusahaan swasta yang menjadi konsumen tetap Solarmax, nama dagang biodiesel, termasuk B10, untuk 35 kendaraan operasional di lingkungan BPPT.

"Pabrik pengolahan biodiesel tidak membutuhkan biaya investasi besar sehingga dapat dikembangkan melalui unit kecil dan dikelola oleh usaha kecil dan menengah (UKM)," kata Makmuri. Sebagai gambaran, pabrik dengan kapasitas produksi 3 ton per hari hanya membutuhkan investasi Rp3,9 miliar dan masa pengembalian sekitar 3 tahun.

Sebagai bagian blueprint pengelolaan energi nasional (PEN), target produksi biodiesel sebesar 720 kiloliter pada tahun 2009 untuk menggantikan 2 persen konsumsi solar hanya akan tercapai jika terdapat 25 unit pengolahan berkapasitas 30 ribu ton per tahun. Meskipun demikian untuk mencapai target mengganti 5 persen konsumsi solar 2025, tidak menutup kemungkinan pembuatan pabrik berkapasitas besar hingga 100 ribu ton per tahun yang memerlukan investasi masing-masing sekitar 100 miliar.

Indonesia sangat kaya akan sumber daya alam yang dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku biodiesel. Sebagai produsen CPO atau minyak sawit terbesar kedua di dunia, Indonesia sangat potensial sebagai produsen biodiesel dengan memanfaatkan minyak yang berbasis sawit, baik CPO itu sendiri maupun dari turunannya.

Produksi CPO tahun 2003 telah mencapai tak kurang dari 9 juta ton dan tiap tahun mengalami kenaikan dapat mencapai 15 persen per tahun. Hampir seluruh produk CPO dapat diolah menjadi biodiesel, dari yang terbaik dengan kadar free fatty acid (FFA) kurang dari 5 persen hingga Palm Fatty Acid Distillate (PFAD) berkadar FFA lebih dari 70 persen. Belum lagi potensi bahan baku lainnya, misalnya jarak pagar yang dapat tumbuh di lingkungan tandus sekalipun.

Meskipun demikian, sosialisasi penggunaan biodiesel tidak akan berarti tanpa dukungan dari pemerintah. Termasuk standardisasi produk untuk memberikan perlindungan kepada konsumen. Makmuri berharap dalam 2 hingga 3 bulan ke depan, standardisasi biodiesel dapat ditetapkan pemerintah sehingga teknologi pengolahan yang telah dikuasai BPPT dapat segera dikomersialkan.

Selain itu, kesiapan komersialisasi biodiesel ujung-ujungnya adalah harga jual, kata Direktur Jenderal Listrik dan Pemanfaatan Energi, Yogo Pratomo saat melepas rombongan media yang akan meninjau lokasi energi terbarukan di Jawa Barat, Jumat (9/9). Untuk menekan biaya bahan baku dan mendorong investasi, sekarang sedang digodok bentuk insentif dengan Departemen Keuangan. Salah satu yang diusulkan adalah pembebasan pajak impor mesin pengolahan biodiesel seperti yang diterapkan di negara-negara lain.

Dengan demikian harga jual biodiesel dapat bersaing dengan harga solar yang cenderung terus naik tergantung pasokan impor minyak dunia.


dari Kompas Cyber Media, September 2005

The Benefits of Biodiesel

Reaksi Transesterifikasi

Reaksi transesterifikasi trigliserida (minyak nabati) dengan metanol untuk menghasilkan biodiesel atau fatty acid methyl esters (Y Zhang et al, 2003).



Potensi Minyak Jelantah Sebagai Bahan Baku Biodiesel


Minyak jelantah (waste cooking oil) merupakan limbah dan bila ditinjau dari komposisi kimianya, minyak jelantah mengandung senyawa-senyawa yang bersifat karsinogenik, yang terjadi selama proses penggorengan. Jadi jelas bahwa pemakaian minyak jelantah yang berkelanjutan dapat merusak kesehatan manusia, menimbulkan penyakit kanker, dan akibat selanjutnya dapat mengurangi kecerdasan generasi berikutnya. Untuk itu perlu penanganan yang tepat agar limbah minyak jelantah ini dapat bermanfaat dan tidak menimbulkan kerugian dari aspek kesehatan manusia dan lingkungan.

Salah satu bentuk pemanfaatan minyak jelantah agar dapat bermanfaat dari berbagai macam aspek ialah dengan mengubahnya secara proses kimia menjadi biodiesel. Hal ini dapat dilakukan karena minyak jelantah juga merupakan minyak nabati, turunan dari CPO (crude palm oil). Adapun pembuatan biodiesel dari minyak jelantah ini menggunakan reaksi transesterifikasi seperti pembuatan biodiesel pada umumnya dengan pretreatment untuk menurunkan angka asam pada minyak jelantah.

Hasil ujicoba pada kendaraan Izusu Elf menunjukkan adanya penghematan bahan bakar dari 1 liter untuk 6 kilometer menjadi 1 liter untuk 9 kilometer dengan menggunakan biodiesel dari minyak jelantah, demikian juga BBM perahu nelayan berkurang sekitar 20 persen apabila digunakan oleh para nelayan (Gatra 2006). Bahkan telah diuji coba pada kendaraan bermesin diesel sampai 40% campuran dengan solar selama kurang lebih 3 tahun tanpa masalah sadikit pun.

Tabel berikut adalah perbandingan emisi yang dihasilkan oleh biodiesel dari minyak jelantah (Altfett Methyl Ester/AME) dan Solar :

Hal

AME

Solar

Emisi NO

1005,8ppm

1070ppm

Emisi CO

209ppm

184ppm

Emisi CH

13,7ppm

18,4ppm

Emisi partikulat/debu

0,5

0,93

Emisi SO2

tidak ada

ada









Dari tabel tersebut terlihat bahwa biodiesel dari minyak jelantah merupakan alternatif bahan bakar yang ramah lingkungan sebagaimana biodiesel dari minyak nabati lainnya. Hasil uji gas buang menunjukkan keunggulan AME dibanding solar, terutama penurunan partikulat/debu sebanyak 65%. Biodiesel dari minyak jelantah ini juga memenuhi persyaratan SNI untuk Biodiesel. Berikut adalah hasil uji laboratorium perbandingan berbagai macam parameter antara biodiesel minyak jelantah, solar dan persyaratan SNI untuk biodiesel :

Sifat fisik

Unit

Hasil

ASTM Standar

(Minyak Solar)

SNI Biodiesel

Flash point

°C

170

Min.100

Min. 100

Viskositas (40°C)

cSt.

4,9

1,9-6,5

2,3-6,0

Bilangan setana

-

49

Min.40

Min.48

Cloud point

°C

3,3

-

Maks.18

Sulfur content

% m/m

<<>

0.05 max

Maks.0,05

Calorific value

kJ/kg

38.542

45.343

--

Density (15°C)

Kg/l

0,85

0,84

0,86-0,90

Gliserin bebas

Wt.%

0,00

Maks.0,02

Maks 0,02


Namun yang menjadi permasalahan utama ialah pengumpulan minyak jelantah yang tidak mudah, selain karena persebarannya cukup luas dan tidak merata, tapi juga tidak sedikitnya pengumpul minyak jelantah dari restoran-restoran yang nantinya akan mereka olah kembali, bisa juga tidak, untuk kemudian dijual ke pedagang kecil maupun untuk keperluan lain. Disatu sisi berdasarkan pengamatan penulis, para pedagang kecil yang menggunakan minyak goreng untuk dagangannya akan membuang minyak jelantah sisa menggoreng ke selokan yang terdekat yang bermuara pada sungai, sehingga dapat menjadi salah satu sumber polusi pada perairan sungai. Untuk itu perlu adanya dukungan dari pemerintah pusat maupun pemerintah daerah untuk penanganan limbah minyak jelantah ini menjadi biodiesel, sebagaimana yang telah dilakukan oleh pemerintah kota Guangzhou, China. Guangzhou sebagai kota terbesar ketiga di China telah berhasil mengolah minyak jelantah sebanyak 20.000 ton pertahun untuk diolah menjadi biodiesel karena adanya dukungan dari pemerintah lokal (Y Wang et al, 2006).

Oleh karena itu, pemanfaatan minyak jelantah sebagai bahan bakar motor diesel merupakan suatu cara pembuangan limbah (minyak jelantah) yang menghasilkan nilai ekonomis serta menciptakan bahan bakar alternatif pengganti bahan bakar solar yang bersifat ethis, ekonomis, dan sekaligus ekologis.